Senin, 08 Februari 2016

SOP Persyaratan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Kota Bekasi

read more

Jumat, 25 Desember 2015

Teologi Pembebasan: Titik Temu Agama dan Marxisme?

read more

Rabu, 16 Desember 2015

Opini | MKD

Opini | MKD



Cobalah dengar baik-baik kepingan pembelaan Setya Novanto dalam sidang MDK itu. Terasa sekali telah disesatkan oleh pengacaranya: membicarakan etika dimulai dengan mempermasalahkan legal standing pelapor Sudirman Said, sedangkan substansi masalah malah tidak disentuh. Nama Riza pun dilindungi, tidak disebut.
read more

Opini | MKD

read more

Rabu, 25 November 2015

MARI BUNG REBUT KEMBALI

(Catatan dari RAKERCAB-I PDI Perjuangan Kota Bekasi)
Oleh : Henu Sunarko

Hari Minggu yang lalu (22/11), DPC PDI Perjangan Kota Bekasi menghelat Rapat Kerja Cabang yang pertama dibawah kepemimpinan Anim Imamuddin. Seiring dengan dinamika politik di Kota Bekasi, RAKERCAB tersebut digelar untuk menangkap konfigurasi politik di tahun 2018. Tahun dimana Pilkada Serentak untuk Kota Bekasi akan dilaksanakan. Maka dengan tegas, tema yang dikumandangkanpun “Mari Bung Rebut Kembali”. Masyarakatpun bisa menilai makna dibalik tema utama kegiatan tersebut dengan gamblang.
Sebagai partai ideologis, kredo perjuangan perlu diusung sebagai visi dan orientasi politik. Terlebih dalam kontestasi politik terakhir, PDI Perjuangan adalah partai pemenang. Di Kota Bekasi, penguasaan 12 kursi di lembaga legislative adalah modal politik yang amat signifikan dalam kerangka penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2018. Pendek kata, hanya PDI Perjuangan yang sudah menggenggam tiket untuk dapat mengusung calonnya, ketimbang partai-partai lain. Namun demikian, menuju 2018 dengan hanya bertumpu pada kepemilikan tiket politik semata, adalah sebuah kenaifan politik. Disinilah tugas pengelola partai untuk mampu meramu, mengemas dan menyajikan strategi politik sehingga modal politik yang dapat dioptimalisasikan.
PDI Perjuangan memiliki program perjuangan (strijdprogram) dan program kenegaraan (staatprogram) yang menjadi Program Perjuangan Partai. Program-program disusun dan dirumuskan sebagai kebutuhan menuju cita-cita politik. Pada konteks ini, PDI Perjuangan Kota Bekasi harus mampu menangkap dan menyelami kebutuhannya secara rasional dan realistis. Politik adalah momentum (!). Seyogianya PDI Perjuangan Kota Bekasi mampu terus menerus merawat momentum yang ada dengan capaian program yang nyata-nyata mampu menggerakkan animo pengurus, kader, simpatisan dan konstituennya bekerja dalam ikatan kepentingan yang sama.
Konsolidasi Ideologi
PDI Perjuangan memilih jalan ideologis karena meyakini ideologi sebagai makna dasar, tiang penyangga, acuan arah (leitstar), sekaligs bingkai yang memandu kebijakan, prilaku dan tindakan politik pengemban kekuasaan. Sebagai partai politik yang turut mengelola Negara hari ini, dituntut mewujudkan panggilan sejarahnya untuk mengimplementasikan ideologi melalui jalan Trisaksti.
Kesadaran ideologis menjadi tugas penting dan berat bagi PDI Perjuangan Kota Bekasi, kecenderungan kader terseret pragmatisme amat tinggi, tidak itu saja, bahkan dibekap oleh is-isu sektarianisme, paham primordialismepun masih menguat. Jika ini dibiarkan, bukan tak mungkin akan menjadi setereotip utama untuk mewujudkan visi dan orientasi politik “Mari Bung Rebut Kembali”. Partai sudah menegaskan, taka da ruang sedikitpun untuk mentolelir pikiran dan tindakan yang mengancam integritas Pancasila, menciderai UUD 1945, mengelabuhi NKRI dan mendistorikan kebhinekaan.
Dalam pidato politiknya, Anim Imamuddin (Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi) bahkan mewanti-wanti untuk seluruh kader partai agar berjuang dulu, dan jangan pernah menghitung-hitung mendapat apa dari perjuangan itu. Jelas dan tersurat, Anim menhendaki seluruh potensi dari komponen partai digerakkan untuk memacu mesin partai sebagai panggilan ideologis, bukan yang lain.
Ditengah maraknya praktek pragmatism, modus transaksional, dan hedonisme politik, seruan Anim seperti -dongeng politik-. Seperti cerita-cerita HC. Andersen. Benarkah demikian?. Saya kira tidak. Partai harus mampu melahirkan kader-kader ideologis. Proses ideologisasi di perlukan untuk membuka kesadaran ideologisnya. Maka pengurus partai tak boleh sebagai individu-individu yang justru mengemplang kesepakatan ideologis.
Konsolidasi Organisasi
Partai diharapkan mampu mempertahankan soliditas, solidaritas dan kesetiakawanan di tubuh partai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sejarah dan mengkonversikan kemenangan di Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 menjadi juga kemenangan di Pilkada Serentak 2018. Untuk membangun kekuatan politik ( macht-vorming) yang pada capaian memenangkan Pilkada Serentak 2018 perlu langkah-langkah startegi-taktis yang didasarkan pada kuatnya pola konsolidasi-konsolidasi organisasi.
Daya topang konsolidasi harus dipersiapkan juga seperti kebutuhan akan ketersidaan dana, sarana dan prasarana penunjang kegiatan partai di seluruh jenjang kepengurusan partai hingga anak ranting. Jika semua gagasan dan rumusan ideal yang ditelurkan oleh RAKERCAB-I DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi diikuti dengan pencapaiannya, maka kerja-kerja politik menuju 2018 akan memiliki alat ukur yang memadai.
Terbukanya ruang-ruang konsolidasi partai juga menjadi cerminan dinamika organisasi. Hanya organisasi yang mampu menjalankan mesin organisasinya dengan baik yang akan juga mampu mendulang keberhasilan.


Penulis adalah  Ketua Bidang Komunikasi Politik DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi
read more

Minggu, 01 Februari 2015

Politik dan Negosiasi Tata Ruang

Oleh: Hen Eska

Tata ruang sejatinya merupakan instrumen utama politik kebencanaan. Disain tata ruang yang visioner semestinya mampu menjawab tantangan yang membentang dihadapannya, terlebih untuk wilayah atau area yang notabene punya potensi dasar untuk dilanda bencana. Sejauh ini, problem tata ruang dan penanggulangan bencana alam cenderung berdiri sendiri-sendiri, tak sebangun dalam konsepsi yang saling    bersinergi sehingga bisa kita katakan sebagai proyeksi pembangunan yang visioner.  Mengapa hal ini terjadi padahal tata kelola untuk mendisain wilayah sudah seharusnya menjadi mekanisme kontrol yang ketat, bukan sebaliknya penuh kompromistis dan negosiatif.ata ruang di negeri ini masih amat amburadul. Alhasil, orientasi pembangunan dengan sadar menggerus keseimbangan alam dan bencana disiasati dengan kerja-kerja penanggulangannya. Politik tata ruang tak punya tabiat kebencanaan, yang mengemuka adalah syahwat kerakusan dan keserakahan semata.

Kota Bekasi juga kerap dilanda banjir. Daerah-daerah yang setiap musim penghujan datang sepertinya akrab dengan genangan air yang seringkali melumpuhkan aktifitas warga. Disisi lain, pembangunan gedung pusat-pusat niaga, hotel dan perkantoran serta hunian vertikal semacam apartemen marak berdiri. Apakah pembangunannya sudah memuat dan menjelmakan aturan secara tegas, sebab efek luar biasa dari pengelolaan tata ruang yang semrawut akan menyumbangkan dampak kebencanaan, khususnya banjir. Dengan selalu tak menunjukkan daya dukung serta aspek mitigasi bencana sesungguhnya pembangunan-pembangunan itu tak ubahnya bom waktu.

Pemerintah Kota Bekasi menganggarkan 900 juta untuk mengantisipasi datangnya banjir. Pos anggaran ini sebagai paket penanggulangan banjir yang tiap tahun eskalasinya meluas. Apakah kemudian ada upaya kuat untuk mempelajari lebih jauh dari bencana banjir ini pada konteks pembangunan di Kota Bekasi ini?. Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang telah memiliki semangat responsif terhadap pencegahan dampak bencana. Yang kerap terjadi malah sebaliknya. Pemerintah kerap abai terhadap tata ruang. Alih-alih memikirkan tata ruang sebagai respons menghadapi bencana, mereka malah menjual, menegosiasikan tata ruang atas nama investasi dan usaha menguatkan sumber-sumber pendapatan daerah atau PAD.

Sudah saatnya Pemerintah Kota Bekasi memperhatikan betul pembangunan yang meninggalkan porsi keseimbangan dengan alam. Bila paradigmanya masih sebatas untuk membuka ruang seluas-luasnya iklim investasi dan peningkatan PAD, dimasa datang akan menuai masalah dengan problem kebencanaan. Sebab politik dan negosiasi tata ruang selama ini memang rentan dengan praktek manipulasi dan hanya memperhatikan kepentingan untuk menambah pundi-pundi kekayaan orang per orang (pejabat). Tak heran jika ada proyek pembangunan di Kota Bekasi semacam mal dan apartemen kerap menimbulkan masalah baik dari sisi perijinan atau tak terpenuhinya aspek-aspek mendasar seperti klausul soal Ruang Terbuka Hijau (RTH), kompensasi penyediaan lahan untuk Tempat Pemakaman Umum (TPU), studi analisa mengenai dampak lingkungan atau AMDAL, bahkan untuk hal-hal terkait dengan ijin lingkungan di mana area pembangunan proyek dikerjakan tak jarang belum dilengkapi. Artinya memang terjadi praktek yang meninggalkan aturan main atau ijin prinsip dari proyek-proyek pembangunan itu. Hebatnya lagi, fungsi alih dan status lahan dapat dengan mudah didapat oleh pengembang proyek. Lagi-lagi ini soal komitmen dan konsistensi pemerintah kota untuk mendudukkan kembali konsepsi tata ruang yang mampu menjamin keseimbangan sengan alam sekaligus mengakomodasi kepentingan masyarakatnya.

Pemerintahan Jokowi-JK memahami betul konsepsi tata ruang kita jadi persoalan krusial, sehingga dalam kabinetnya dibentuklah Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Artinya, dibawah kementrian inilah pemerintah pusat menghendaki kewenangan yang lebih kuat untuk -menekan- pemerintah daerah agar lebih patuh pada aturan tata ruang. Dalam kebijakan satu peta (one map policy) diharapkan seluruh tata kelola pembangunan memiliki basik proyeksi yang sama, kedepan bencana dapat dieliminasi sekecil mungkin. Terpenting adalah upaya dan kehendak kuat untuk terus menerus menempatkan pembangunan yang tak menimbulkan masalah, baik hari ini dan dimasa datang.

Pada akhirnya, politik dan negosiasi tata ruang haruslah menjelma sebagai good will dan political will demi kemaslahatan masyarakat, bukan lagi sebagai pensiasatan yang terbangun karena keinginan-keinginan memperkaya diri dari para pejabat. 

Penulis adalah Koordinator Kelompok Kerja Dekade Kritis (Pokja DeKRIT)





     
read more

Selasa, 15 Juli 2014

Reformasi

read more