Minggu, 01 Februari 2015

Politik dan Negosiasi Tata Ruang

Oleh: Hen Eska

Tata ruang sejatinya merupakan instrumen utama politik kebencanaan. Disain tata ruang yang visioner semestinya mampu menjawab tantangan yang membentang dihadapannya, terlebih untuk wilayah atau area yang notabene punya potensi dasar untuk dilanda bencana. Sejauh ini, problem tata ruang dan penanggulangan bencana alam cenderung berdiri sendiri-sendiri, tak sebangun dalam konsepsi yang saling    bersinergi sehingga bisa kita katakan sebagai proyeksi pembangunan yang visioner.  Mengapa hal ini terjadi padahal tata kelola untuk mendisain wilayah sudah seharusnya menjadi mekanisme kontrol yang ketat, bukan sebaliknya penuh kompromistis dan negosiatif.ata ruang di negeri ini masih amat amburadul. Alhasil, orientasi pembangunan dengan sadar menggerus keseimbangan alam dan bencana disiasati dengan kerja-kerja penanggulangannya. Politik tata ruang tak punya tabiat kebencanaan, yang mengemuka adalah syahwat kerakusan dan keserakahan semata.

Kota Bekasi juga kerap dilanda banjir. Daerah-daerah yang setiap musim penghujan datang sepertinya akrab dengan genangan air yang seringkali melumpuhkan aktifitas warga. Disisi lain, pembangunan gedung pusat-pusat niaga, hotel dan perkantoran serta hunian vertikal semacam apartemen marak berdiri. Apakah pembangunannya sudah memuat dan menjelmakan aturan secara tegas, sebab efek luar biasa dari pengelolaan tata ruang yang semrawut akan menyumbangkan dampak kebencanaan, khususnya banjir. Dengan selalu tak menunjukkan daya dukung serta aspek mitigasi bencana sesungguhnya pembangunan-pembangunan itu tak ubahnya bom waktu.

Pemerintah Kota Bekasi menganggarkan 900 juta untuk mengantisipasi datangnya banjir. Pos anggaran ini sebagai paket penanggulangan banjir yang tiap tahun eskalasinya meluas. Apakah kemudian ada upaya kuat untuk mempelajari lebih jauh dari bencana banjir ini pada konteks pembangunan di Kota Bekasi ini?. Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang telah memiliki semangat responsif terhadap pencegahan dampak bencana. Yang kerap terjadi malah sebaliknya. Pemerintah kerap abai terhadap tata ruang. Alih-alih memikirkan tata ruang sebagai respons menghadapi bencana, mereka malah menjual, menegosiasikan tata ruang atas nama investasi dan usaha menguatkan sumber-sumber pendapatan daerah atau PAD.

Sudah saatnya Pemerintah Kota Bekasi memperhatikan betul pembangunan yang meninggalkan porsi keseimbangan dengan alam. Bila paradigmanya masih sebatas untuk membuka ruang seluas-luasnya iklim investasi dan peningkatan PAD, dimasa datang akan menuai masalah dengan problem kebencanaan. Sebab politik dan negosiasi tata ruang selama ini memang rentan dengan praktek manipulasi dan hanya memperhatikan kepentingan untuk menambah pundi-pundi kekayaan orang per orang (pejabat). Tak heran jika ada proyek pembangunan di Kota Bekasi semacam mal dan apartemen kerap menimbulkan masalah baik dari sisi perijinan atau tak terpenuhinya aspek-aspek mendasar seperti klausul soal Ruang Terbuka Hijau (RTH), kompensasi penyediaan lahan untuk Tempat Pemakaman Umum (TPU), studi analisa mengenai dampak lingkungan atau AMDAL, bahkan untuk hal-hal terkait dengan ijin lingkungan di mana area pembangunan proyek dikerjakan tak jarang belum dilengkapi. Artinya memang terjadi praktek yang meninggalkan aturan main atau ijin prinsip dari proyek-proyek pembangunan itu. Hebatnya lagi, fungsi alih dan status lahan dapat dengan mudah didapat oleh pengembang proyek. Lagi-lagi ini soal komitmen dan konsistensi pemerintah kota untuk mendudukkan kembali konsepsi tata ruang yang mampu menjamin keseimbangan sengan alam sekaligus mengakomodasi kepentingan masyarakatnya.

Pemerintahan Jokowi-JK memahami betul konsepsi tata ruang kita jadi persoalan krusial, sehingga dalam kabinetnya dibentuklah Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Artinya, dibawah kementrian inilah pemerintah pusat menghendaki kewenangan yang lebih kuat untuk -menekan- pemerintah daerah agar lebih patuh pada aturan tata ruang. Dalam kebijakan satu peta (one map policy) diharapkan seluruh tata kelola pembangunan memiliki basik proyeksi yang sama, kedepan bencana dapat dieliminasi sekecil mungkin. Terpenting adalah upaya dan kehendak kuat untuk terus menerus menempatkan pembangunan yang tak menimbulkan masalah, baik hari ini dan dimasa datang.

Pada akhirnya, politik dan negosiasi tata ruang haruslah menjelma sebagai good will dan political will demi kemaslahatan masyarakat, bukan lagi sebagai pensiasatan yang terbangun karena keinginan-keinginan memperkaya diri dari para pejabat. 

Penulis adalah Koordinator Kelompok Kerja Dekade Kritis (Pokja DeKRIT)





     

0 komentar:

Posting Komentar